Rabu, 02 Juli 2008

Gunung Arjono Yang Sangat Angker

Menjelang setengah empat sore kami sampai di Candi Jawa Dwipa. Celingak-celinguk tak ada bangunan candi di tempat ini. Hanya semacam prasasti kecil dari semen bertuliskan Jawa Dwipa. Entahlah dimana gerangan candi yang sesungguhnya, tak ada waktu untuk mencarinya lebih lanjut. Dari Jawa Dwipa medan mulai menanjak menyusui punggungan bukit dengan jurang di sebelah kiri jalan. Guguran daun cemara kering menutupi jalan, sehingga kami harus cermat mengamati jalan dan petunjuk ke puncak. Apalagi kabut tebal yang mempersempit sudut pandang juga mengiringi perjalanan itu.
Mengayunkan langkah menyusuri keindahan bukit dan hutan merupakan hal yang biasa dalam sebuah pendakian.
Namun, ketika aneka patung dan candi menghiasi jalur pendakian, perjalanan pun terasa lebih mengesankan. Dan pesona inilah yang kami jumpai dalam pendakian ke Arjuno melalui Desa Tambak Watu, Purwosari Februari lalu.

Mentari belum beranjak dari peraduannya saat kami tinggalkan rumah Yuda dengan jeep sewaan menuju ke Tambak Watu. Hangatnya teh manis sajian Ibunda Yuda sesaat sebelum berangkat membantu kami menghadapi dinginnya udara pagi itu. Di pasar Lawang jeep berhenti sejenak menaikkan David yang sedari subuh dengan setia telah menanti di sana. Dan empat puluh menit kemudian sampailah rombongan di tujuan.

Sebenarnya selain sewa mobil, desa Tambak Watu bisa digapai dengan ojek atau angkot yang mangkal di depan pasar Purwosari. Ongkos ojek berkisar Rp 15 ribu s/d Rp 20 ribu, tergantung hasil nego. Sedangkan ongkos angkot pastinya jauh lebih murah daripada ojek. Kami memilih sewa mobil karena hari masih terlalu pagi sehingga angkot belum tersedia. Sedang untuk naik ojek masih terlalu dingin dan terbayang repotnya menahan ransel di jalan menanjak.

Pondok dan Patung
Pendakian diawali dengan melapor ke posko pendakian. Peta dan berbagai perlengkapan pendakian tersedia di posko ini. Miringnya harga yang ditawarkan membuat kami tergoda untuk melakuakan transaksi. Begitulah… baru juga mau start isi ransel telah bertambah dengan beberapa “souvenir”.

Mendaki jalan berbatu dengan vegetasi pohon pinus dan kopi menjadi etape selamat datang. Jalan setapak ini kemudian berlanjut dengan jalan lebar yang membelah kebun kopi. Pendaki sebenarnya bisa langsung menapaki jalan besar ini dari awal perjalanan, namun bila ingin lebih singkat bisa menempuh jalan pintas seperti yang kami lakukan.
Sejuknya udara pagi membuat nyaman perjalanan hingga tanpa terasa setengah jam kemudian kami telah sampai di Pos I Guo Ontoboego. Komplek pemujaan ini berupa guo (gua) kecil dengan cungkup (bangunan beratap) di depannya. Ada juga cungkup lain di dekat batu besar dan bangunan semacam pondok di bawahnya. Puluhan tangkai sedap malam diletakkan berjajar mengelilingi semacam altar di tengah kompleks dan di sekitar dinding ke dua cungkup. Bunga dan tangkainya mulai mengering, mungkin itu sisa-sisa dari kegiatan ritual awal bulan Syuro lalu.

Dari Ontoboego vegetasi beralih menjadi ladang jagung. Daerah terbuka ini membuat pandangan mata menjadi leluasa. Di belakang kami samar-samar nampak Semeru dengan kepulan asap tebalnya yang khas. Juga pegunungan di sekitarnya yang nampak membiru. Sementara itu di depan puncak Arjuno seolah melambaikan tangannya tak sabar menanti kedatangan kami . Hmm… perjalanan masih jauh…

Tak lama kemudaian, sampaialah kami di sebuah gerbang dari bambu beratap ilalang. Ada persimpangan jalan di sini. Yang kanan menuju ke petilasan Eyang Madrim, dan yang kiri meunuju ke puncak. Jalanan yang rapi dengan tanaman hias di kanan kirinya ditemui selepas melintas gerbang gapura. Dan sepuluh menit kemudian sampailah kami di Pos II Tampuono. Tempat ini merupakan komplek peristirahatan bagi pengunjung yang tengah melakukan perjalanan spiritual di gunung Arjuno. Paling tidak ada sekitar delapan pondok yang bisa didiami. Penghuninya menyambut dengan ramah kala kami mampir untuk beristirahat. Bahkan si Dora dan Kancil, anjing peliharaan di situ pun ikut beramah dengan berusaha mendekati kami. Hiii……… takut ;).
Di sekitar kawasan ini terdapat beberapa petilasan seperti Dewi Kunthi, Eyang Abiyoso dan Goa Nogo Gini. Namun sempitnya waktu membuat kami tak sempat menyambanginya.

Perjalanan terus berlanjut dan sepuluh menit kemudian petilasan Eyang Sokri yang juga merupakan Pos III tergapai. Ada dua pondok kecil beratap seng di sini. Dan kami hanya melintas saja. Mendung mulai bergayut di langit kala kami melintasi bebukitan selepas pos III. Tubuh pun terlindung dari garangnya sinar mentari. Namun sayang pemandangan jadi nampak berkurang keindahannya. Tepat jam 09.000 di route bukit berbatu kami beristirahat sejenak. Segarnya buah mengganjal perut yang sedari tadi menagih jatah sarapannya.
Beberapa pondok terlihat berdiri di bebukitan pada seberang punggungan, mungkin itu adalah petilasan. Memang pada jalur pendakian antar pos III dan IV ini tersebar banyak petilasan yang biasa digunakan untuk melakukan kegiatan spiritual maupun bersemedi. Ada yang kita lewati saat pendakian dan ada juga yang tidak. Rencang Kencono, Sendang Derajat, Goa Wejangan dan candi Wesi merupakan beberapa tempat yang tidak kita lewati dalam pendakian.

Sekitar sejam perjalanan dari Pos III terdapat tempat spiritual berupa patung Semar. Sisa bakaran dupa tertancap di atas anglo kecil di depan patung. Kain putih menutupi sebagian tubuh patung yang dipahat dengan sederhana ini. Dan kabut menambah kemisteriusan tempat yang juga merupakan Pos IV Semar. Ternyata patung semar tak hanya ada di Pos IV. Dalam perjalanan selanjutnya akan dijumpai beberapa yang lainnya. Di dekat Pos V Makutoromo, beberapa patung semar berdiri pada tangga menuju tumpukan batu yang disusun menyerupai makam. Entahlah apakah itu memang makam seseorang atau hanya petilasannya saja.

Di komplek tersebut hujan deras tiba-tiba mengguyur. Untung saja di sampingnya terdapat pondok sehingga kami dapat segera berteduh. Akhirnya kami tak sekedar berteduh. Di serambi bangunan yang dinding dan atapnya terbuat dari ialalang tersebut kami sekaligus masak dan makan siang.

Sesaat setelah hujan reda, kami berjalan-jalan menikmati pemandangan di sekitar pondok. Ketenangan melingkupi tempat peristirahatan yang dilengkapi dnegan fasilitas MCK itu. Bila cuaca cerah nampaknya dari tempat berlatar bukit hijau ini kita akan mendapatkan view bebas ke daerah-daerah di bawahnya. Rasanya kami betah berlama-lama di sini. Dan akhirnya lebih dari dua jam waktu habis di tempat ini.

Sekitar sepuluh menit perjalanan dari pondok ilalang terdapat komplek candi Sepilar. Beberapa patung dengan pahatan sederhana berdiri di sepanjang tangga menuju ke candi. Seolah menjadi penjaga gerbang candi. Namaun sayang sekali beberapa telah raib diambil tangan-tangan jahil yang hanya mengejar keuntungan pribadi. Jahatnya, mereka mencoba mengelabuhi dengan menempatkan patung dari gabus dan gerabah yang dilapisi semen. Kami sempat melihat dua patung palsu yang diamankan dalam pondok ilalang tempat berteduh sebelumnya. Ggrrr.. sungguh keterlaluan mereka!

Candi Sepilar terdiri dari tiga bangunan menyerupai altar yang tersusun dari batu. Tak ada relief pada sususnan batu tersebut. Tiga patung berselempangkan kain berada di atas masing-masing bangunan. Ketupat sisa sesaji masih tertinggal di samping patung. Di samping kanan candi tertancap tiang bambu yang mengibarkan bendera merah putih. Sebuah gubuk kecil tersedia bagi siapa yang ingin bermalam atau melepas lelah.

Bungkus Permen ”Penolong”

Selepas Candi Sepilar, vegetasi cemara melingkupi jalan setapak menuju puncak Arjuno. Beberapa batang cemara roboh merintangi jalan sehingga kami harus memutari atau menaiki batang-batang tersebut.
Menjelang setengah empat sore kami sampai di Candi Jawa Dwipa. Celingak-celinguk tak ada bangunan candi di tempat ini. Hanya semacam prasasti kecil dari semen bertuliskan Jawa Dwipa. Entahlah dimana gerangan candi yang sesungguhnya, tak ada waktu untuk mencarinya lebih lanjut. Dari Jawa Dwipa medan mulai menanjak menyusui punggungan bukit dengan jurang di sebelah kiri jalan. Guguran daun cemara kering menutupi jalan, sehingga kami harus cermat mengamati jalan dan petunjuk ke puncak. Apalagi kabut tebal yang mempersempit sudut pandang juga mengiringi perjalanan itu.

Waktu terus berlalu, tanpa terasa rombongan terbagi dua dengan jarak yang cukup jauh. Beberapa kali kami beristirahat lebih lama, namun rombongan belakang belum jua nampak. Akhirnya diputuskan untuk terus berjalan sambil mencari tempat datar untuk bermalam.

Tempat datar tak kunjung ditemukan, sementara gelap sebentar lagi menyelimuti hutan. Dan kemudian rombongan pun terpaksa harus terpecah lagi menjadi tiga. Dengan sukarela Yuda menyerahkan senternya padaku sebelum dengan kekuatan penuh melesat mengejar cahaya mentari yang mulai menghilang.

Sisa-sisa tenaga saya tak mampu menandingi kecepatan Yuda. Kemudian hanyalah kegelapan dan udara dingin menemani. Kadang terbesit sedikit ketakutan manakala teringat cerita-cerita seram gunung Arjuno. Terlebih pengalaman pendakian sebelumnya lewat Wonosari sempat diganggu suara-suara dan perasaan kurang enak. Namun perasaan takut itu tak boleh bercokol lama dan harus segera ditepis. Konsentrasi ke jalan menjadi alternatifnya.

Guguran daun cemara cukup tebal di daerah ini sehingga jalur pendakian seringkali hilang. Petunjuk berupa tanda panah dari logam yang terpasang di batang pohon juga jarang dijumpai. Dan bungkus permen yang dibuang sembarangan kemudian dijadikan sebagai salah satu petunjuk. Waduh kali ini saya harus kompromi. Kalau biasanya suka jengkel melihat sampah dibuang sembarangan, saat ini jadi sedikit tertolong karenanya hehehe..
Di pertemuan jalur Wonosari dan Tambak Watu Saya bertemu kembali dengan Yuda yang telah menjelajah mencari tempat bermalam. Udara sangat dingin, maklum tinggal sedikit lagi menuju puncak. Seorang pendaki terlihat melintas turun mengurungkan niatnya untuk bermalam di daerah puncak karena kedinginan. Pantas saja karena dia hanya berbekal baju yang menempel di badannya dan menenteng tas plastik hitam (mungkin air minum dan bekal makanan). Sangat nekat untuk sebuah pendakian.

Sambil menahan dingin kami berteriak-teriak memanggil David dan Yani. Namun tak ada jawaban. Bahkan setelah Yuda puluhan meter menuruni jalur tetap tak ada jawaban. Kami hanya bertahan sekitar setengah jam saja menahan dinginnya udara di tempat itu. Diputuskan untuk menunggu dalam tenda yang kami dirikan di lereng jalur menuju puncak dengan batu besar sebagai pelindung secuil daerah datar di situ.

Secangkir kopi rasanya akan sedikit menghalau dingin dari raga. Namun rupanya itu tak mungkin, semua gas dibawa Yani. Hanya alat masak dan bahan mentahnya saja yang kami bawa. Akirnya bergelung di bawah sleeping bag saja yang bisa dilakukan.
Ditunggu-tunggu yang ditunggu tak muncul jua. Duh dimanakah kalian??? Semoga hujan tak mengguyur.. Semoga tak tersesat.. Dan kalaupun menginap terpisah semoga bisa menghangatkan diri, karena tenda, sleeping bag dan alat masak ada di sini. Zzzzz….zzzzzzz……..zzzz………. badan yang lelah membuat penantian berakhir di dunia mimpi.

Pagi yang indah

Tengah malam suara di luar tenda membangunkan tidur kami. Ternyata David dan Yani. Syukurlah akhirnya mereka sampai juga. Langit di luar tenda saat itu sangat cerah menawarkan pemandangan yang cukup indah. Taburan lampu di bawah sana berpadu dengan kerlip bintang di kelamnya malam. Bulan dan gumpalan awan juga menambah keindahannya. Namun dinginnya hawa mengalahkan pesona itu. Hangatnya sleeping bag dalam tenda terasa lebih menggoda. Dan kamipun segera terbang ke lautan mimpi.

Sunrise menjadi sajian pagi yang tak boleh terlewat. Posisi tenda yang ada di daerah terbuka membuat kami dapat menikmatinya dengan leluasa. Kamera pun tak lepas mengabadikannya. Ketika gelap benar-benar terkuak, giliran kenarsisan kami menjadi obyek bidikannya. Padang rumput dan birunya langit menjadi pendukungnya. Bahkan ada sesi pre wedding segala. Meski kurang berhasil karena model dadaknnya tak mau menuruti semua arahan sutradara. Maklum bukan pasangan cinta hehehe…

Menjelang jam tujuh kaki dilangkahkan ke titik klimaks pendakian di ketinggian 3.339 mdpl. Dan sekitar 30 menit kemudian kami telah menggapai puncak gunung Arjuno tersebut. Batu-batu besar menyususn puncak yang sempit dengan jurang dalam di sekitarnya. Panorama indah terhampar luas. Di seberang sana puncak gunung Welirang dengan sumber belerangnya yang kekuningan serasa memanggil-manggil untuk disambangi. Semeru dengan kepundan berasapnya sayup-sayup terlihat. Padang rumput, punggungan bukit dan birunya langit berpadu dalam keindahan. Dan inilah salah satu candu yang menagih para pendaki untuk selalu kembali dan kembali lagi mendaki gunung.
Tak Sangar Lagi

Belum puas rasanya kedamaian puncak kami nikmati sekitar sejam. Terlebih pagi itu hanya kamilah pengunjungnya. Namun keterbatasan waktu memaksa untuk segera meninggalkannya.

Setelah makan pagi dan membongkar tenda, pukul 10.30 kami pun melanjutkan perjalanan turun melalui jalur Wonosari. Hutan cemara menjadi vegetasi di sepanjang jalan. Sekitar lima puluh menit kemudian kami memasuki kawasan Alas Lali Jiwo. Hutan dengan tanaman heterogen yang terkenal keangkerannya. Namun sayang hutannya tak selebat dulu. Lumut yang menutupi dahan dan tanahnya pun tak setebal dulu. Aura kemisteriusan dan keangkeran yang melingkupinya serasa telah tawar kini.

Lepas tengah hari kami telah menyusuri punggungan terbuka dengan rumput dan ilalang tingginya. Posko pendakian beratap biru yang ditemui di tengah perjalanan menyusuri padang rumput membuat kami sejenak bisa melepaskan diri dari kegarangan mentari siang itu. Setengah jam kepenatan raga dipulihkan di posko pada areal milik Dinas Kehutanan balai Taman Hutan Rakyat R. Soejo tersebut.

Satu posko lagi dijumpai di kawasan hutan Kaliandra. Dari sini jalanan sudah dilebarkan sehingga memungkinkan dilintasi sepeda motor. Hanya saja saat itu beberapa pohon roboh merintangi jalan. Mungkin beberapa hari sebelumnya angin besar melanda tempat ini, menilik pohon yang roboh sampai ke akarnya.

Hujan tiba-tiba mengguyur ketika kami melintasi ladang jagung, dan baru berhenti beberapa saat setelah sampai di tengah perkebunan teh. Menjelang jam lima sore sampailah kami di pos kamling di gerbang menuju gebung teh. Setelah beristirahat sjenak, perjalanan dilanjutkan dengan ojek menuju ke rumah Yuda. Dan akhirnya lezatnya rawon buatan ibunda Yuda menutup rangkaian perjalanan ke Arjuno.
Terima kasih untuk Allah SWt yang telah memungkinkan semua ini terjadi.
Terima kasih untuk Yuda dan keluarganya atas semua fasilitas pendukung yang diberikan. Juga untuk Steve, Hari, Andhi, Iman, Agus, Afrizal, Aris yang telah memperindah perjalanan ini.

Tidak ada komentar: